topbella

Sabtu, 03 Desember 2011

Kumpulan Festival Unik Asli Indonesia

Indonesia sering disebut sebagai raksasa tidur Asia Tenggara, dan julukan itu memang tepat. Dengan lebih dari 18 ribu pulau, gugusan pulau ini memiliki keragaman luar biasa akan apa yang bisa Anda lihat atau lakukan saat berlibur ke sana.


Modernisasi membawa berbagai macam pembangunan (sebagian mengatakan pembangunan yang berlebihan) ke Jakarta, sementara pariwisata Bali kembali hidup setelah sempat hancur ketika ledakan bom 2002 lalu. Ada juga pegunungan seperti Bromo dan Borobudur yang mistis bagi pencari berbagai jenis atraksi, selain juga 6.000 pulau berpenghuni.

Tidak mengherankan bila Indonesia menawarkan berbagai macam festival yang sangat khas menonjolkan budaya mereka, mencerminkan keragaman etnis dan tradisi dari berbagai bagian nusantara. Anda akan menemukan keragaman itu dalam enam festival khas Indonesia ini, mulai dari perayaan seni, batik, tarian dan upacara. Jika mungkin, Anda bisa menyaksikan salah satu festival ketika berkunjung ke Indonesia!

Festival Krakatau

Festival Krakatau adalah festival tahunan yang diselenggarakan di Lampung, diadakan untuk merayakan pulau vulkanik bernama sama, Krakatau. Gunung Krakatau meletus pada 1927, letusan itu kemudian menghasilkan pulau-pulau kecil baru, yang diberi nama Anak Krakatau.

Selama festival, pengunjung dapat menikmati berbagai macam pertunjukkan seperti Karnaval Tuping (Karnaval Topeng Lampung), atraksi gajah serta berbagai macam tarian dari Lampund dan kota sekitarnya. Akhir dari rangkaian acara ini adalah kunjungan ke pulau vulkanik itu, masih aktif tetapi sedang tidur lelap. Untuk sementara!
 

Festival Kesenian Bali

Salah satu perayaan seni budaya tahunan terbesar di Indonesia, Festival Seni Bali selalu penuh sesak. Selama sebulan penuh, berbagai pertunjukan seni, pameran, dan aktivitas budaya lainnya akan berlangsung di seluruh Bali, menawarkan tarian, musik dan keindahan budaya mereka.

Perayaan terkenal itu menampilkan pertunjukan seperti tarian tradisional yang sudah hampir terlupakan, jejak dari daerah terpencil di Bali, makanan, kerajinan tangan, serta kreasi baru dari sekolah-sekolah tari di Denpasar dan koreografi kontemporer dari seniman nasional dan internasional.

Karnaval Batik Solo

Sejak zaman dahulu, tradisi batik selalu memiliki akar yang sangat kuat di Solo. Kotadi  Jawa Tengah itu bahkan telah menjadikan batik sebagai ikon dan identitas, sebuah gambaran tepat dari kota yang terkenal karena keindahan kerajaannya dan kehalusan perilaku. Karnaval Batik Solo diadakan untuk memperkuat tradisi itu, dan untuk mempromosikan batik pada skala nasional dan internasional.

Acara ini adalah kombinasi upacara, pagelaran busana dan karnaval, semuanya menggunakan batik sebagai tema. Akan ada juga bazar yang menawarkan berbagai macam batik dan suvenir unik Solo.


Festival Musik Etnik Internasional Solo

Salah satu festival terbaru dari Solo adalah Solo International Ethnic Music (SIEM) Festival, yang berfokus pada pertunjukan dan perayaan musik etnis. Ajang ini adalah suatu platform unik bagi kolaborasi antara musik modern dan etnis, seniman lokal dan internasional.

Daftar panjang para penampil termasuk seniman Minangkabau, Riau, Yogyakarta, Surabaya, Papua, Kalimantan, dan bahkan seniman asing dari Jepang, Australia, India, Selandia Baru dan banyak lainnya.

Gerebeg Mulud

Dalam bahasa Jawa, gerebeg berarti kerumunan orang dan mulud adalah salah satu nama bulan di kalender Jawa. Perayaan itu, juga dikenal dengan nama Sekaten, untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Prosesi itu berlangsung seharian dan 'menampilkan' dua pertunjukan gamelan yang diarak menuju Mesjid Agung.

Pada malam hari akan ada pasar di sebelah utara kota untuk menambah kemeriahan kota, tempat yang tepat untuk mencoba berbagai makanan Jawa dan Yogyakarta serta untuk berburu suvenir. 

Festival Lembah Baliem

Festival khas Papua ini berakar kepada kepercayaan suku-suku lokal bahwa perang bukan hanya konflik keuasaan dan kepentingan, tetapi juga simbol kesuburan dan kemakmuran. Sejak 20 tahun lalu, pemerintah daerah telah menekankan pentingnya perdamaian antara suku-suku yang berperang untuk mencegah balas dendam berkepanjangan dan hilangnya nyawa. Jadi, Festival Lembah Baliem adalah suatu acara yang diadakan untuk menggantikan perang antar suku itu.

Seperti yang bisa Anda tebak, acara utama adalah perang-perangan antar suku. Bayangkan lebih dari 20 suku berbeda dengan masing-masing 30 hingga 50 orang mengenakan pakaian tradisional, membawa tombak, busur, panah dan parang! Ada juga pertunjukan dan sejumlah atraksi lain, seperti permainan tradisional setempat, tarian, serta masakan lokal.

ANALISIS KONTRASTIF DIATESIS PASIF DALAM BAHASA JEPANG DAN BAHASA INDONESIA DALAM RAGAM TULISAN

:)Menurut Fries (1945) materi pengajaran yang paling efisien adalah berdasarkan suatu deskripsi ilmiah dari bahasa yang dipelajari (B2) dibandingkan dengan bahasa Ibu (B1). Selanjutnya, menurut Lado (1957) pembelajar bahasa asing, akan menemui beberapa unsur bahasa yang mudah, bahkan sangat mudah, dan akan menemui juga unsur bahasa yang sukar, bahkan sangat sukar dari bahasa yang dipelajarinya. Akibatnya, mereka cenderung untuk mengalihkan bentuk dan makna B1 ke bentuk dan makna B2 (1957:2). Hal itu dapat berlangsung secara produktif ataupun secara reseptif.
:)Analisis kontrastif adalah metode pembandingan bahasa-bahasa yang akan menjelaskan secara eksplisit perbedaan dan persamaan diantara keduanya. Sementara itu, Fisiak (1981:1), mengemukakan pengertian analisis kontrastif sebagai suatu cabang linguistik yang mengkaji perbandingan dua bahasa untuk menemukan perbedaan dan persamaan diantara keduanya. Ada dua macam analisis kontrastif, yaitu analisis kontrastif teoretis dan analisis kontrastif terapan. Analisis kontrastif teoretis mengkaji secara mendalam perbedaan dan persamaan dua bahasa dengan tujuan untuk mencari kategori tertentu yang ada atau tidak ada dalam kedua bahasa. Sementara itu, analisis kontrastif terapan adalah bagian dari linguistik terapan.
Diatesis
Diatesis umumnya dibahas sebagai kata kerja dalam kategori gramatikal (Muraki 1991:1). Sebagai salah satu kategori gramatikal, diatesis memiliki kekhasan pada morfologi kata kerja itu sendiri serta pada hubungan di dalam struktur sintaktis. Dengan kata lain, diatesis adalah sistem yang saling berhubungan. Chaer (1994:265) menjelaskan pengertian diatesis secara lebih sederhana, sebagai gambaran hubungan antara partisipan dan perbuatan yang dikemukakan dalam kalimat. Perbuatan yang berhubungan dengan partisipan tersebut, Kridalaksana (1993:43), dinyatakan oleh verba dalam kalimat. Lebih lanjut, menurut Muraki (1991:1) verba yang menyatakan hubungan dalam diatesis, secara sintaktis adalah verba yang menduduki fungsi predikat.
Walaupun di dalam bahasa-bahasa pada umumnya bentuk diatesis pasif hanya dapat disusun oleh verba transitif saja, dalam bahasa Jepang diatesis pasif disusun baik oleh verba transitif maupun verba tak transitif. Jenis diatesis berverba tak transitif tersebut dimasukkan ke dalam golongan pasif tak langsung (kansetsu ukemi).
Contoh : 1. Ame ga furimasu.
Hujan (agn) turun (v-intrasitif-aktif)
Hujan turun
2. Watashi wa ame ni furaremashita.
Saya (ekp)hujan (agn) turun (V-intran-pasif)
Saya kehujanan.
             Oleh karena itu, kansetsu ukemi sering dikatakan sebagai struktur yang spesifik bahasa Jepang. Diatesis dianggap merupakan kesemestaan bahasa (language universals). Jadi, terdapat pada bahasa apapun diseluruh dunia, diantaranya adalah bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Diatesis selalu dapat dikenali dengan baik karena selalu ada penandanya. Penanda yang dimaksud dapat bersifat formatif dan tidak formatif. Penanda yang formatif dapat disebut pemarkah (marker), dapat berwujud morfem terikat atau kata, dan pemarkah itu dapat bervalensi dengan kata bendanya. Hal tersebut bergantung pada watak bahasa tertentu. Penanda yang tidak formatif biasanya berupa susunan beruntun atau urutan unsur (Sudaryanto, 1991:6).
Peran Pendamping Pasif
          Banyak sekali Istilah peran yang dipakai oleh para linguis. Kridalaksana menggunakan istilah ekstralingual, sedangkan Sudaryanto menggunakan istilah intralingual. Dalam bahasa Jepang, Muraki menggunakan istilah time, partitive, instrumental dan lain-lain untuk istilah peran (jojutsuso).
Untuk memudahkan langkah analisis pasif kedua bahasa, diperlukan istilah yang seragam, terutama untuk peran yang mendampingi konstituen pusat.
Agentif –Agn, Penanggap – Exp, Instrumental – Ins, Objektif – Obj, Objektif-P – Obj-P
Lokatif –Lok, Temporal –Tem, peran-peran ini adalah istilah yang digunakan dalam penelitian ini.
Diatesis Pasif
Diatesis pasif biasanya dihubungkan dengan diatesis aktif sehingga sering dikatakan bahwa keduanya saling berparafrase. Dapat juga dirumuskan bahwa argumen, yang mengisi fungsi O dalam diatesis aktif, mengisi fungsi S dalam diatesis pasif. Karena bersangkut paut dengan hubungan antara P dan argumen lain dalam struktur sintaktis, diatesis pasif dapat ditentukan dari sudut pola morfemik kata kerja pengisi P sejauh pola morfemik itu berhubungan dengan argumen lain.
Noda (1991:119) Yoshikawa (1989:184), dan Higashinakagawa (1996 :136) mengemukakan bahwa diatesis pasif adalah pasif itu sendiri. Fenomena diatesis, muncul karena ada pertukaran posisi dari konstituen-konstituen pembentuk kalimat. Misalnya :
(1) Sensei ga Asano san o yonda. Asano san ga sensei ni yobareta.
       Agn obj akt obj agn pas
Guru memanggil Asano Asano dipanggil (oleh) guru.
(2) Ayah membeli buku Buku dibeli (oleh) ayah
      Agn akt obj obj pas agn
Kalimat yang ada disebelah kiri adalah aktif atau berdiatesis aktif. Pertukaran posisi antara agens dengan objek pad kalimat (1), (2) tersebut menyebabkan verba berubah, yaitu berkonjugasi dengan sufiks-are(ru)/-rare(ru) (1), dan meN- menjadi di- (2), sehingga terbentuk kalimat seperti yang terlihat pada sisi kanan yang berdiatesis pasif atau aktif.
Diatesis Pasif Bahasa Jepang
          Banyak pakar linguistik Jepang yang berpendapat bahwa diatesis pasif bahasa Jepang ada dua macam (Okutsu dan Tanaka 1989, Muraki 1991, Maynard 1993), yaitu pasif langsung (chokusetsu ukemi) dan pasif tak langsung (kansetsu ukemi). Semua pasif tersebut tidak berbeda tampilannya, yaitu sama-sama ditandai oleh pemarkah –are(ru) dan –rare-(ru). Pada pasif langsung (chokusetsu ukemi) konstituen yang mengisi fungsi objek dalam diatesis aktif, dalam diatesis inimengisi fungsi subjek, misalnya :
Aktif : Sasaki san wa Yamada san o damashita.
Subjek objek K.k akt
Sasaki menipu Yamada.
Pasif : Yamada san wa Sasaki san ni damasareta.
Subjek agn k.k pas
Yamada ditipu Sasaki.
         Pada pasif tak langsung (kansetsu ukemi), konstituen yang menduduki fungsi subjek adalah nomina yang dipengaruhi oleh peristiwa, dan nomina itu tidak termasuk bagian yang berhubungan dengan kalimat aktifnya. Contohnya :
Aktif : Imoto wa okashi o tabeta.
Agn obj akt -lam
Adik memakan kue.
Pasif : watashi wa imoto ni okashi o taberareta.
Exp agn obj pas-lam
Kue saya dimakan oleh adik.
Pemarkahan Diatesis Pasif Bahasa Jepang
Bentuk pasif dalam bahasa Jepang di tandai oleh permarkah –are-(ru) dan – rare(ru) yang menempel pada akar kata verba sebagai sufiks.
Bentuk lebih terperinci tentang verba pasif bahasa Jepang, adalah sebgai berikut :
V 1 omou  omowareru
Yomu  yomareru
Kaku  kakareru
V 2 taberu  taberareru
Miru  mirareru
V 3 Kuru  korareru
Suru  sareru
Selain permarkahan tersebut, suatu verba disebut pasif apabila dapat (atau) didahului oleh nomina (N) + ni/kara (ni dan kara dapat dipakai bila verba menjadikan orang sebagai sasaran atau objek), atau ni yotte. Sebagai contoh:
(3) okusan ni miraretemo ii youna tegami nanka kakanaiwa. (YG,82)
(saya tidak mau menulis surat yang mungkin dibaca juga oleh istrimu.)
(4) Genji monogatari wa Murasaki Shikibu ni yotte kakareta. (ITJL, 124)
(hikayata/cerita Genji ditulis oleh Murasaki Shikibu.)
Pasif Langsung (Chokusetsu Ukemi)
Pasif langsung dalam bahasa Jepang sama dengan bentuk- bentuk pasif beberapa bahasa pada umumnya, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dibentuk berdasarkan bentuk aktifnya. Verba pengisi fungsi P biasanya adalan verba transitif. Bila kalimat aktif ditransformasikan ke pasif, yang menduduki fungsi subjek pad kalimat aktif bertukar posisi dengan objeknya, sehingga pada kalimat pasif, yang dikenai kegiatan dijadikan subjek dan diletakkan di awal kalimat. Pelaku tidak lagi berfungsi sebagai S kalimat, tetapi pindah posisi dari awal kalimat, bergeser ke tangah dan diberi permarkah baru dengan kata bantu kasus ni. Verba mengalami afiksasi, yaitu akar kata verba diikuti oleh sufiks –rareru. Contoh:
(5) Moto koibito wa Ino Shiori o koroshita.
agn obj akt-lam
Mantan pacar membunuh Ino Shiori.
(6) Ino Shiori ga moto koibito ni korosareta.
Obj/exp agn pas- lam
Ino Shiori dibunuh (oleh) mantan pacarnya.
Kalimat (5) berdasarkan pada verba transitif korosu dimana pelaku, moto koibito (mantan pacar) sebagi S kalimat. Ino Shiori penerima tindakan, menjadi objek langsung dari verba korosu. Menurut Okutsu (1989: 118) verba seperti itu disebut verba berdiatesis aktif. Kalimat (6) menggunakan verba berdiatesis pasif, atau biasa disebut sebagai pasif langsung karena penerima –orang yang terkena tindakan-langsung merasakan tindakan agens verba aktif.
Bagan I
Hubungan bentuk aktif dengan pasif langsung
Aktif
N1 ga N2 o/ni/kara/to V-ru
Pasif langsung
N2 ga N1 ni/kara/de/niyotte V-rare-ru
Pasif Tak Langsung (Kansetsu Ukemi)
Pasif tak langsung sering dikatakan sebagai struktur yang spesifik bahasa Jepang. Alasannya, konstruksi pasif ini dapat dibentuk dari verba taktransitif di samping verba transitif, sedangkan dalam bahasa lain, pada umumnya pasif hanya dibentuk dari verba transitif. (Ishiwata, 1990:61). Contoh :
Subjek pasif taklangsung yang diikuti verba transitif adalah korban perbuatan subjek aktifnya.
(11) Taroo ga giita o hiita.
Agn obj akt-lam
Taro memainkan gitar.
(12) Boku wa Taroo ni giita o hikareta.
Exp agn obj pas-lam
Saya terganggu permainan gitar Taro.
Hubungan (11) dan (12) dapat dijelaskan dengan bagan sebagai berikut.
Bagan II
Hubungan pasif tak langsung dengan kalimat asalnya
Taroo ga giita o hiku
N2 ga N3 o Vtrans
N1 ga N2 ni N3 o Vtrans-pas
Boku ga Taroo ni giita o hikareru
Pasif tak langsung yang dibentuk dari verba transitif, baik korban (exp/S pasif) maupun pelaku (agn/S verba transitif) adalah nomina bernyawa.
Menurut Muraki (1991:182), sebuah struktur disebut pasif taklangsung (kansetsu ukemi) apabila peristiwa yang diungkapkan dalam kalimat asal (kihon bun) aktif, menimpa partisipan lain (yang ditambahkan), diluar struktur kalimat aktif tersebut. Partisipan itu biasanya manusia. Pada contoh-contoh pasif taklangsung terlihat bahwa subjek adalah nomina bernyawa yang berperan sebagai penderita.
(13) Boku wa ame ni furareta.
Exp agn pas-lam
Saya kehujanan.
(14) Watashi wa jiken ni okirareta.
Exp agn pas -lam
Saya terkena kasus.
Diatesis Pasif Bahasa Indonesia
Dalam konteks kalimat, kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita, sasaran, atau hasil dari perbuatan verba dalam kalimat. Jadi, kaliamt pasif nmengedepankan penderita daripada pelaku. Berdasrkan pernyataan itu, dalam bahasa Indonesia, kalimat pasif dapat dibentuk dari kalimat aktif transitif.
Perubahan aktif ke pasif menurut Moeliono (1997:279) menyangkut beberapa hal, yaitu :
(1) macam verba yang mengisi fungsi P,
(2) subjek dan objek
(3) bentuk verba yang dipakai.
            Pemarkahan Diatesis Pasif Bahasa Indonesia
Diatesis pasif bahasa Indonesia memiliki banyak ragam bentuk. Diatesis pasif atau pasif dapat dibuat dengan berbagai cara, Seperti membuang prefiks me- pada verba sehingga tinggal akar katanya saja; menambahkan prefiks di-; menambahkan sufiks pronominal –ku, kau, -nya; menambahkan prefiks ter- dan menambahkan afiks ke-an pada akar kata.
Dalam penelitian ini konstruksi berdiatesis pasif yang akan dibahas dibedakan dalam beberepa kelompok, yaitu :
(1) pasif –di
(2) pasif nol
(3) pasif imperatif
(4) pasif adversatif
(5)pasif ke-an.

Sastra Indonesia

          Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
***
        Kesusastraan Indonesia merupakan potret sosial budaya masyarakat Indonesia. Ia berkaitan dengan perjalanan sejarah. Ia merupakan refleksi kegelisahan kultural dan sekaligus juga merupakan manifestasi pemikiran bangsa Indonesia. Periksa saja perjalanan kesusastraan Indonesia sejak kelahirannya sampai kini.
Pada zaman Balai Pustaka (1920—1933), misalnya, kita melihat, karya-karya sastra yang muncul pada saat itu masih menunjukkan keterikatakannya pada problem kultural ketika bangsa Indonesiaberhadapan dengan kebudayaan Barat. Tarik-menarik antara tradisi dan pengaruh Barat dimanifestasikan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Tarik-menarik itu juga tampak dari tema-tema yang diangkat dalam karya sastra pada masa itu. Problem adat yang berkaitan dengan masalah perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel Indonesia pada zaman itu.
             Dalam puisi, problem kultural itu tercermin dari masih kuatnya keterikatan pada bentuk kesusastraan tradisional, seperti pantun atau syair. Meskipun Muhammad Yamin memperkenalkan bentuk soneta (Barat) dalam puisinya, ia sebenarnya masih menggunakan pola pantun dalam persamaan persajakan (bunyi) setiap lariknya. Sementara itu, dilihat dari tema-tema yang diangkatnya, tampak ada usaha merumuskan sebuah konsep kebangsaan, meskipun yang dikatakan Muhammad Yamin masih dalam lingkup Pulau Sumatera.
            Dalam bidang drama, Rustam Effendi dalam Bebasari (1926) secara simbolik menawarkan perlawanan kepada bangsa asing (Belanda). Penculikan Sita (Ibu Pertiwi) oleh Rahwana (kolonial) pada akhirnya harus dimenangkan oleh perjuangan gigih seorang Rama (pemuda Indonesia). Jadi, secara simbolik, drama ini sudah mempersoalkan konsep kebangsaan dan pentingnya perjuangan melawan penjajah.
Sementara itu, di pihak yang lain, secara ideologis, karya sastra, terutama novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka memperlihatkan betapa novel-novel yang diterbitkan lembaga itu sejalan dengan ideologi pemerintah kolonial Belanda. Balai Pustaka sebagai lembaga penerbitan yang dikelola pemerintah kolonial Belanda, tentu saja mempunyai kepentingan ideologis. Oleh karena itu sangat wajar jika novel-novel yang diterbitkan Balai Pustaka mengusung kepentingan ideologi kolonial.
***
            Pada zaman Pujangga Baru (1933—1942), tarik-menarik antara Barat dan Timur tampak tidak hanya pada perdebatan Polemik Kebudayaan, tetapi juga dalam usaha mereka menerjemahkan gagasan itu dalam karya-karyanya. Maka kita dapat melihat puisi-puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan nafas sufisme dan kosa kata Melayu kuno (Timur). Ia juga banyak menerjemahkan khazanah kesusastraan Timur, khasnya India. Baghawad Gita dan beberapa terjemahan puisi Tiongkok adalah satu contoh usahanya memperkenalkan khazanah kesusastraan Timur itu. Berbeda dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana berteriak lantang menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke Barat. Hanya dengan itu, menurutnya, bangsa Indonesia akan mencapai kemajuan. Salah satu novel Sutan Takdir Alisjahbana yang tampak mengusung gagasannya mengenai semangat Barat adalah Layar Terkembang.
           Pada masa itu, puisi Indonesia sudah mulai jauh meninggalkangaya pengucapan pantun atau syair. Masuknya pengaruh romantisisme Barat –melalui Angkatan `80 (De Tachtiger Beweging) Belanda— diterima dengan segala penyesuaiannya. Puisi tidak hanya menjadi alat mengangkat dunia ideal, tetapi juga menjadi sarana penyadaran akan kebesaran masa lalu. Romantisisme Pujangga Baru lahir bukan karena kegelisahan atas merosotnya nilai-nilai rohani, spiritualitas, dan terjadinya eksplorasi kekayaan alam, melainkan sekadar mencari bentuk pengucapan baru dalam puisi Indonesia.
***
           Perubahan drastis dalam kehidupan sosial, budaya, dan politik diIndonesia, terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang (Maret 1942—Agustus 1945), segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka, kesusastraan pun dijadikan alat propaganda pemerintah pendudukan Jepang untuk mengobarkan semangat Asia Timur Raya.
            Kehidupan kesusastraan Indonesia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-politik, ekonomi. Ambruknya kehidupan ekonomi pada masa itu yang menempatkannya berada pada titik terendah, ikut pula mempengaruhi kerja kreatif para sastrawan. Maka membuat karya yang lebih cepat mendapatkan uang menjadi pilihan yang lebih rasional. Itulah sebabnya, ragam puisi dan cerpen pada zaman Jepang itu jauh lebih banyak dibandingkan novel. Demikian juga penulisan naskah drama menempati posisi yang sangat baik mengingat propaganda melalui pementasan sandiwara (drama) dianggap lebih efektif. Itulah sebabnya, pemerintah pendudukan Jepang menyediakan banyak panggung atau gedung pementasan sebagai sarana penyebarluasan propaganda melalui pementasan-pementasan drama.
***
           Selepas Proklamasi, 17 Agustus 1945, kesadaran akan semangat kebangsaan dan pentingnya menyongsong dunia baru, menjadi semacam trend yang kemudian diwujudkan ke dalam karya-karya sastra yang terbit pada masa itu. Chairil Anwar muncul dengan puisi-puisinya yang penuh vitalitas, bersemangat, dan menggelora. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, Chairil Anwar menerbitkan Tiga Menguak Takdir (1949) yang menunjukkan penolakan terhadap semangat Pujangga Baru. Menguak Takdir dapat dimaknai sebagai pisau bermata dua:
(1) mengusung semangat perjuangan, bahwa nasib bangsa sangat bergantung pada usaha untuk tidak menyerah pada keadaan, pada nasib, pada takdir.
(2) menolak segala gagasan yang dianjurkan Sutan Takdir Alisjahbana, yaitu (i) kebudayaan bangsa harus ditentukan bukan oleh Timur—Barat, melainkan oleh diri sendiri. “Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri,” (ii) bentuk pengucapan dalam puisi tidak perlu lagi dengan bahasa yang mendayu-dayu dan berbunga-bunga, tetapi dengan bahasa sehari-hari yang lugas dan langsung. Chairil Anwar yang menjadi tokoh kunci Angkatan 45 seperti meninggalkan jejak yang begitu kuat dalam peta puisiIndonesia. Pengaruhnya terus bergulir sampai periode berikutnya.
              Dalam bidang prosa –novel dan cerpen—pengalaman pahit zaman Jepang dan trauma kegetiran perang kemerdekaan (1945—1949) telah menjadi sumber ilham bagi prosais Indonesia. Maka, Idrus mengangkat kegetiran pada zaman Jepang, Pramoedya Ananta Toer mengeksplorasi pengalamannya semasa menjadi gerilyawan dan berjuang melawan tentara Belanda. Demikian juga Mochtar Lubis, Balfas, Toha Mohtar, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusasto, dan beberapa novelis Indonesia lainnya yang dibesarkan dalam gejolak revolusi, mengangkat pengalaman perang sebagai tragedi kemanusiaan yang amat getir, dan di pihak lain digunakan juga sebagai alat untuk menumbuhkan semangat kebangsaan.
Memasuki dasawarsa tahun 1950-an kesusastraan Indonesiaberada dalam situasi yang amat semarak. Selain tentang kisah peperangan, juga muncul semangat kedaerahan dan nafas filsafat eksistensialisme. Sitor Situmorang, Nasjah Djamin, dan teristimewa Iwan Simatupang adalah beberapa nama yang sangat bersemangat memasukkan filsafat eksistensialisme ke dalam karya-karyanya. Iwan Simatupang kemudian menjadi sastrawan penting ketika novel-novelnya diterbitkan selepas peristiwa tragedi 30 September 1965.
Masa suram kesusastraan Indonesia dan umumnya kehidupan kebudayaan Indonesia terjadi pada paroh pertama dasawarsa tahun 1960-an (1961—1965). Ketika itu, slogan “Politik adalah Panglima” telah menempatkan kehidupan politik di atas segala-galanya. Kesusastraan dan kebudayaan kemudian digunakan sebagai alat perjuangan politik. Pro dan kontra pun terjadi. Terbelahlah sastrawan Indonesia ke dalam beberapa kubu yang mengerucut menjadi dua kubu besar, yaitu golongan sastrawan yang mengusung semangat humanisme universal dan golongan sastrawan yang mengusung sastra dan kebudayaan sebagai alat perjuangan politik dengan penekanan pada sastra yang berpihak pada rakyat. Kelompok pertama mendeklarasikan sikapnya melalui apa yang disebut “Manifes Kebudayaan” dan kelompok kedua tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berporos pada Partai Komunis Indonesia (PKI).
Kehidupan kesusastraan dan kebudayaan dalam masa lima tahun itu benar-benar memasuki situasi yang buruk. Perbedaan pendapat dan ideologi menjadi pertentangan fisik dan serangkaian teror. Pelarangan Manifes Kebudayaan oleh Presiden Soekarno menandai tersingkirnya kelompok Manifes dalam berbagai aspek kehidupan kebudayaan, meskipun mereka terus bergerak melakukan perlawanan.
Pecahnya peristiwa 30 September 1965 yang memicu gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa sekaligus menghancurkan dominasi PKI dalam kehidupan politik nasional. Lekra sebagai underbouw PKI tentu saja ikut menjadi korban. Kelompok sastrawan pendukung Manifes Kebudayaan seperti keluar dari lubang kematian. Mereka kemudian mengusung karya-karya protes. Taufiq Ismail sebagai tokoh kunci gerakan ini menyuarakan semangat perlawanannya melalui puisi. Penyair lain, seperti Bur Rasuanto, Slamet Sukirnanto, Wahid Situmeang, adalah beberapa sastrawan yang ikut menyuarakan semangat perlawanan itu. H.B. Jassin kemudian menyebut gerakan para sastrawan itu sebagai Angkatan 66.
Gelombang demonstrasi pelajar dan mahasiswa itu berhasil mencapai perjuangannya dengan pembubaran PKI dan kemudian berdampak pada kejatuhan Presiden Soekarno. Praktis PKI beserta para pendukungnya, berada dalam posisi sebagai pecundang. Kalah dalam perjuangan politiknya. Dan Pemerintah yang menyebut dirinya sebagai Orde Baru melakukan pembersihan. Sastrawan yang tergabung dalam Lekra dengan sendirinya menjadi pihak yang kalah. Mereka ditangkap, dipenjara, dan tokoh-tokoh pentingnya dibuang ke Pulau Buru.
***
             Babak baru muncul dalam perjalanan kesusastraan Indonesia. Trauma terhadap campur tangan politik dalam kebudayaan, khususnya kesusastraan, telah memberi kesadaran, bahwa kesusastraan, kesenian, dan secara keseluruhan, kebudayaan, tidak boleh dimasuki kepentingan politik. Kehidupan kebudayaan harus dipisahkan dari kehidupan politik. Tak ada tempat lagi bagi politik untuk masuk dan mengganggu kehidupan kesusastraan. Anggapan bahwa muatan politik hanya akan mengganggu estetika berkesenian menjadi semacam label penting dalam kehidupan kesenian dan lebih khusus lagi, kesusastraan Indonesia. Lalu, bagaimana pengaruhnya terhadap kesusastraan Indonesia ketika politik dianggap tidak berhak lagi memasuki wilayah kesenian dan kesusastraan.
               Selepas tahun 1965 dan terutama memasuki pertengahan dasawarsa 1970-an, sastrawan Indonesia seolah-olah memperoleh saluran kebebasan yang lebih luas. Di pihak lain, mereka menolak campur tangan politik. Maka, usaha mengeksploitasi estetika yang berada jauh di luar politik adalah penggalian pada tradisi, pada sumber kekayaan khazanah kesusastraan sendiri. Di sinilah, kisah-kisah dunia jungkir-balik dalam dongeng-dongeng rakyat menjadi salah satu sumber kreativitas mereka. Selain itu, unsur-unsur mistik Islam—Jawa, sufisme, dan khazanah puisi rakyat, disadari sebagai kekayaan tradisi yang dapat dikemas atau diselusupkan ke dalam bentuk puisi yang lebih modern. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, berhasil memanfaatkan mantera untuk kepentingan estetika puisinya yang mengandalkan kemerduan bunyi. Melalui kredonya yang menolak makna dalam kata, Sutardji menjadi salah satu tokoh kunci penyair Indonesia dasawarsa itu. Arifin C. Noer –dalam drama—berhasil pula memanfaatkan dongeng-dongeng dan teater rakyat, seperti ketoprak dan tanjidor, menjadi unsur penting dalam dramanya. Sementara itu, Kuntowijoyo yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi kejawen, tetapi menyerap juga pengaruh tasawuf dan filsafat Barat (eksistensialisme), berhasil melahirkan sebuah novel, Khotbah di Atas Bukit, yang memperlihatkan percampuran pengaruh-pengaruh itu.
               Dasawarsa 1970-an –yang kemudian disebut sebagai Angkatan 70-an— adalah masa berlahirannya karya-karya eksperimentasi. Iwan Simatupang lewat empat novelnya, Merahnya Merah, Ziarah, Kering, dan Kooong, tampil sebagai salah seorang maestro novel kontemporer Indonesia. Sejumlah nama lain, tentu saja masih panjang berderet. Tetapi secara umum, mereka mempunyai semangat yang sama, yaitu “kembali ke akar, kembali ke sumber.”
              Memasuki dasawarsa 1980-an sampai pertengahan 1990-an, kesusastraan Indonesia seperti bergulir tanpa gejolak menghebohkan, tanpa hiruk-pikuk. Sejumlah karya memang masih tetap lahir dengan daya kejut yang cukup kuat. Ahmad Tohari lewat trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk, menyadarkan kita akan dunia wong cilik dan orang-orang yang terpinggirkan. Umar Kayam dalam Para Priyayi mengukuhkan kekayaan kultur Jawa. Kejutan lain muncul ketika Pramoedya Ananta Toer memperkenalkan tetraloginya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempat novel yang dikatakannya sebagai novel Pulau Buru itu konon ditulis Pram saat ia berada dalam tahanan di Pulau Buru.
               Kejutan lain yang juga penting terjadi menjelang berakhir abad ke-20. Ayu Utami melalui novelnya, Saman (1998) mengejutkan banyak pihak terutama keberaniannya dalam mengungkapkan persoalan seks. Selepas itu, bermunculan sastrawan wanita yang dalam beberapa hal justru lebih berani dibandingkan Ayu Utami. Sebutlah misalnya, Dinar Rahayu (Ode untuk Leopold, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang, Saya Monyet! 2003, dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) 2004), Maya Wulan (Swastika, 2004).
Jauh sebelum Ayu Utami, sejumlah sastrawan wanita sesungguhnya telah menunjukkan prestasi yang cukup penting, seperti Nh Dini, Titis Basino, Marianne Katoppo, Leila Chudori, Ratna Indraswari, Abidah El-Khalieqy, Helvy Tiana Rosa, atau Dorothea Rosa Herliani. Meskipun begitu, kemunculannya makin semarak justru selepas Ayu Utami itu. Boleh jadi, kondisi itu dimungkinkan oleh runtuhnya kekuasaan Orde Baru yang ketika itu banyak melakukan represi. Maka, begitu ada saluran pembebasan, berlahiranlah pengarang-pengarang wanita dengan keberanian dan kekuatannya masing-masing. Tercatat, beberapa di antaranya, Fira Basuki, Anggie D. Widowati, Naning Pranoto, Ana Maryam, Weka Gunawan, Agnes Jesicca, Ani Sekarningsih, Ratih Kumala, Asma Nadia, Nukila Amal dan Dewi Sartika.
             Yang menarik dari sejumlah karya yang ditulis para pengarang wanita ini adalah usahanya untuk tidak lagi terikat oleh problem domestik. Karya-karya mereka tidak lagi berbicara tentang problem rumah tangga –suami-istri, melainkan problem seorang perempuan dalam berhubungan dengan masyarakat kosmopolitan. Maka, di sana, tokoh-tokoh wanita yang menjadi pelaku utamanya, seenaknya bergentayangan ke mancanegara atau berhubungan dengan masyarakat
 
Liescha ceria© DiseƱado por: Compartidisimo